Friday, August 27, 2004
Overworked and under.......(Nikmat mana lagi yang kan Kudustakan?)
Sepertinya segala sesuatu mempunyai batas ya.... begitu juga dengan tubuh kita. Hari senin tanggal 23 Agustus 2004 sebenarnya udah kerasa agak gak enak badan (my body is not delicious) tapi tetap mencoba masuk kantor karena ada kerjaan yang harus kejar tayang. Esok harinya, hari selasa, begitu pulang ke rumah langsung badan rasanya menggigil, demam, dan panas sekitar 38,5 derajat celcius. Malam harinya tidur juga gak nyenyak banget, tapi berkat sang Istri yang setia menemani, katanya sampe baru tidur jam 3 pagi karena sibuk mengompres (mudah-mudahan ejaannya betul) diriku yang tidurnya juga sambil meracau (mengingau).
Esok paginya, hari Rabu, Istri bercerita bahwa, tadi malam saya meracau seperti anak kecil yang sedang menangis dan memanggil: 'Mamaaa...Mamaaa....'
Langsung aja Istri bilang:
'Idih....Aa (panggilan Istri ke saya).... masak tadi malam ngigau sambil manggil-manggil mama....'
Oopss...dengan wajah sedikit malu, dan sambil mencoba mencari jawab ngeles yang tepat akhirnya saya jawab:
'Ah.... masak sih' masih mencoba untuk memastikan mungkin Istri hanya guyon.
'Maksud Aa sih.... Mama di situ ya Kamu, Sayang. Kamu kan calon Mama...' (instead of saying Mama, is my own Mother) :)
Ha..ha... jawaban yang spontan dan cukup diplomatis, buktinya Dia langsung mesem-mesem mendengar jawaban saya.
Hari Rabu, siang akhirnya kami (Saya dan Istri) berobat ke Dokter dan hasilnya: saya harus beristirahat selama 2 (dua) hari, maunya sih 3 (tiga) hari biar jum'at gak masuk sekalian :) karena terkena radang Tenggorokan, serta batuk dan pilek. Dan harus meminum 5 (lima) macam obat:
Amoxsan (yang kemudian diganti Erytrhomicyn, karena membuat saya alergi)
Erytrhomicyn
Tuzalos
Cortidex
Becom C
Ah...nampaknya memang nikmat sehat itu baru terasa ketika sakit. Alhamdulillah, Allah mengkaruniakan kepada saya seorang istri yang baik, setia dan taat.
Masya Allah... nikmat mana lagi yang akan kudustakan, hari ini?
Picture taken from here
Wednesday, August 18, 2004
Quo Vadis Masa Depan Bangsa?
Judul di atas diambil dari bahasa latin, yang artinya "mau kemana" biasanya kalimat tersebut diungkapkan atas sebuah pertanyaan atau sesuatu hal yang tidak kita ketahui. Pertanyaan ini layak kembali kita kemukakan disaat kita memperingati Hari Kemerdekaan, walaupun bagi sebagian orang masih mempertanyakan apa makna dan hakekat dari kemerdekaan itu sendiri. Ibarat manusia usia 59 adalah menjelang senja, tapi bagi sebuah bangsa usia seperti itu adalah masih terbilang belia. Karena bagaimanapun para pendiri bangsa kita tentu tidak pernah membatasi sampai berapa ratus tahun bahkan abad usia bangsa Indonesia.
Apa sebenarnya yang bisa kita banggakan kepada sesama bangsa lain di dunia ini, atau apa yang nanti akan kita wariskan untuk anak-cucu kita kelak. Setumpuk utang luar negeri kah yang hanya dinikmati oleh segelintir orang yang menamakan dirinya konglomerasi? Segudang persoalan konflik lokal kah yang seringkali merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa anak-anak sesama negeri? Selusin persoalan pendidikan yang tiba-tiba menjadi barang mahal di negeri ini kah?
Dalam perjalanan kita sejak 'merdeka' hingga kini, telah banyak kepentingan rakyat yang diabaikan. Alih-alih menjadi pelayan rakyat, pemerintah justru semakin menunjukkan dirinya sebagai pelayan pemilik modal dan pihak asing. Demi memenuhi ‘perintah’ IMF, misalnya, berbagai kemaslahatan rakyat, listrik, telekomunikasi, air, subsidi pertanian, pendidikan, kesehatan dan obat-obatan, dan sebagainya, dirampas dari rakyat; bahkan rakyat kemudian harus membeli semua itu, yang notabene adalah hak mereka, dengan harga yang amat mahal. Walhasil, rakyat justru kemudian dipaksa untuk memenuhi kepentingan pejabat, pemilik modal, dan pihak asing.
Dimana sebenarnya tanggung jawab para penyelenggara negara ini?
Ah.. saya tidak tahu lagi bagaimana nanti saya harus menjawab pertanyaan anak-anak saya kelak, jika suatu saat mereka menagih apa yang seharusnya mereka dapatkan sebagai bekal untuk meneruskan laju perjalanan bangsa ini.
Judul di atas diambil dari bahasa latin, yang artinya "mau kemana" biasanya kalimat tersebut diungkapkan atas sebuah pertanyaan atau sesuatu hal yang tidak kita ketahui. Pertanyaan ini layak kembali kita kemukakan disaat kita memperingati Hari Kemerdekaan, walaupun bagi sebagian orang masih mempertanyakan apa makna dan hakekat dari kemerdekaan itu sendiri. Ibarat manusia usia 59 adalah menjelang senja, tapi bagi sebuah bangsa usia seperti itu adalah masih terbilang belia. Karena bagaimanapun para pendiri bangsa kita tentu tidak pernah membatasi sampai berapa ratus tahun bahkan abad usia bangsa Indonesia.
Apa sebenarnya yang bisa kita banggakan kepada sesama bangsa lain di dunia ini, atau apa yang nanti akan kita wariskan untuk anak-cucu kita kelak. Setumpuk utang luar negeri kah yang hanya dinikmati oleh segelintir orang yang menamakan dirinya konglomerasi? Segudang persoalan konflik lokal kah yang seringkali merenggut ratusan bahkan ribuan nyawa anak-anak sesama negeri? Selusin persoalan pendidikan yang tiba-tiba menjadi barang mahal di negeri ini kah?
Dalam perjalanan kita sejak 'merdeka' hingga kini, telah banyak kepentingan rakyat yang diabaikan. Alih-alih menjadi pelayan rakyat, pemerintah justru semakin menunjukkan dirinya sebagai pelayan pemilik modal dan pihak asing. Demi memenuhi ‘perintah’ IMF, misalnya, berbagai kemaslahatan rakyat, listrik, telekomunikasi, air, subsidi pertanian, pendidikan, kesehatan dan obat-obatan, dan sebagainya, dirampas dari rakyat; bahkan rakyat kemudian harus membeli semua itu, yang notabene adalah hak mereka, dengan harga yang amat mahal. Walhasil, rakyat justru kemudian dipaksa untuk memenuhi kepentingan pejabat, pemilik modal, dan pihak asing.
Dimana sebenarnya tanggung jawab para penyelenggara negara ini?
Ah.. saya tidak tahu lagi bagaimana nanti saya harus menjawab pertanyaan anak-anak saya kelak, jika suatu saat mereka menagih apa yang seharusnya mereka dapatkan sebagai bekal untuk meneruskan laju perjalanan bangsa ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)