Monday, May 07, 2018

Tugas Berat Menanti Komisioner Baru KPPU


http://www.kppu.go.id/id/wp-content/uploads/2018/05/PelantikanKPPU-10.jpeg

Tugas Berat Menanti Komisioner Baru KPPU

Akhirnya drama pemilihan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) periode 2018-2023 berakhir setelah Komisi VI DPR RI menetapkan sembilan nama komisioner baru KPPU pada 23 April 2018 kemarin. Walaupun harus melalui tahapan penetapan Rapat Paripurna DPR RI, penetapan komisioner KPPU tersebut tinggal menunggu keluarnya Keppres.

Sebelumnya terhitung telah dua kali Presiden Joko Widodo menandatangani Keppres perpanjangan hingga 27 April nanti. Publik turut mengamati bahwa sejak akhir Maret lalu, Komisi VI DPR, menjalankan proses uji kelayakan dan kepatutan terhadap 18 calon komisioner yang diajukan Presiden pada 22 November 2017.

Penundaan ini dikarenakan Komisi VI DPR RI sempat mempermasalahkan mengenai independensi dan kredibilitas Tim Pansel dalam memilih 18 calon komisioner yang diajukan oleh Presiden kepada DPR. Seperti adanya anggota tim pansel yang pernah menjadi kuasa hukum, komisaris dan ahli dari perusahaan (terlapor) yang diperiksa oleh KPPU.

Saat menjabat, masa jabatan komisioner KPPU lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Pasal 31 ayat (4) UU No.5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/99) mengatur apabila karena berakhirnya masa jabatan bisa terjadi kekosongan dalam keanggotan komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.

Jika mengacu pada ketentuan tersebut, Presiden dapat memperpanjang masa jabatan komisioner KPPU atau sampai dengan ditetapkan komisioner baru.

Sebenarnya seperti apa persyaratan untuk dapat menjadi seorang komisioner KPPU? Jika mengacu persyaratan Pasal 32 UU 5/99, selain harus WNI yang berusia diatas 30 tahun dan bawah 60 tahun, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, komisioner KPPU dituntut mempunyai pengalaman di bidang usaha dan mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan ekonomi.

Persyaratan yang terakhir sangatlah penting, mengingat UU 5/99 tidak hanya mengedepankan aspek hukum, akan tetapi juga aspek ekonomi dalam pelaksanaannya. KPPU melalui para komisioner diharapkan mampu menerjemahkan harapan publik untuk dapat berperan serta mengawasi praktik persaingan usaha yang terjadi di dunia usaha.

KPPU harus dapat menyeimbangkan peran utama antara fungsi penindakan dan pencegahan. Dalam Pasal 3 UU 5/99 mengamanatkan, bahwa tujuan UU 5/99 salah satunya adalah mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kesempatan berusaha yang sama bagi setiap pelaku usaha, besar, menengah dan kecil.

Saat terpilih, komisioner baru bakal mendapat pekerjaan rumah yang tidak ringan. Catatan penulis adalah terkait pekerjaan rumah yang sangat penting dan prioritas untuk segera dituntaskan oleh komisioner terpilih periode 2017-2022 nantinya.

Pemerintah telah menyampaikan Daftar Inventaris Masalah (DIM) pada 29 Agustus 2017 lalu kepada DPR dalam menanggapi draft Naskah Rancangan UU 5/99. Beberapa usulan KPPU mengenai penambahan kewenangan dan penguatan kelembagaan, penerapan asas ekstrateritorialitas, persetujuan KPPU untuk proses penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan sepertinya berat untuk dapat disetujui pemerintah sehingga perlu didiskusikan lebih lanjut.

KPPU perlu duduk kembali bersama pemerintah, DPR dan para stakeholders terkait lainnya untuk mendiskusikan hal tersebut. Karena apabila usulan itu disetujui, tentu akan membawa dampak yang cukup signifikan bagi kebijakan dan hukum persaingan usaha serta dunia usaha ke depan.

Hukum Acara KPPU
KPPU harus membenahi hukum acara yang ada. Pasca-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.85/PUU-XIV/2106 tanggal 20 September 2017 menetapkan bahwa KPPU merupakan institusi yang melakukan penegakan hukum dalam hukum administrasi negara, dan oleh karenanya tugas serta wewenang KPPU berada dalam wilayah hukum administrasi.

Putusan MK tersebut menegaskan, sekaligus menghilangkan keraguan mengenai norma apa yang jadi patokan KPPU yang selama ini seringkali menjadi perdebatan. Namun, hingga saat ini belum ada upaya konkret untuk membahas KPPU sebagai penegak hukum dalam wilayah hukum administrasi negara pasca putusan MK tersebut, termasuk prosedur penanganan perkara di KPPU.

Prosedur penanganan perkara di KPPU yang ada saat ini mengacu pada Peraturan KPPU No.1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara (Perkom 1/2010). Perkom 1/2010 mengatur diantaranya penyelidikan hingga persidangan di KPPU yang layaknya seperti di persidangan pengadilan. Padahal sejatinya KPPU bukan merupakan bagian dari suatu badan peradilan.

Upaya pembenahan hukum acara KPPU tentu harus pula dibarengi dengan adanya perbaikan Peraturan Mahkamah Agung No.3 Tahun 2005 (Perma 3/2005) tentang Tata Cara Pengajuan Perkara Keberatan terhadap Putusan KPPU. Perma 3/2005 mengatur bahwa pengadilan negeri hanya memeriksa keberatan atas dasar Putusan KPPU dan berkas perkara, sehingga mengesankan pemeriksaan di KPPU seolah seperti pengadilan tingkat pertama.

Dengan momentum amandemen UU 5/99 dan putusan MK tersebut, maka inilah saat yang tepat untuk melakukan upaya pembenahan hukum acara KPPU.

Misalnya, soal status pegawai Sekretariat KPPU harus dibuat lebih jelas. Unsur KPPU selain komisioner KPPU adalah Sekretariat KPPU. Keppres No.75 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Perpres No. 80 Tahun 2008 tentang KPPU, menegaskan bahwa susunan organisasi KPPU terdiri atas Anggota Komisi dan Sekretariat Komisi.

Sejak berdiri pada 2000, Sekretariat KPPU hingga saat ini belum memperoleh kepastian mengenai status kepegawaiannya. Apakah sekretariat KPPU dianggap sebagai bagian dari aparatur sipil negara (ASN) atau tetap dengan status quo seperti sekarang.

Hal ini menjadi kerisauan dan kegalauan bagi pegawai Sekretariat KPPU, sehingga tidak heran seringkali terjadi turn over yang cukup besar pegawai sekretariat KPPU, baik yang beralih menjadi PNS atau memilih berkarir di sektor swasta.

Sejalan dengan putusan MK mengenai sifat administratif dari penegakan hukum KPPU, maka sudah selayaknya status kepegawaian Sekretariat KPPU adalah aparatur sipil negara (ASN).

Kepada Komisioner baru KPPU periode 2017–2022, tentunya para pegawai sekretariat KPPU dapat berharap. Yang diperlukan saat ini adalah langkah konkrit, bukan lagi menebar angin surga atau sekedar janji manis yang enak didengar di awal, tapi minim tindakan nyata. Selamat datang para komisioner baru KPPU periode 2017–2022, selamat melakukan perubahan, pekerjaan rumah telah menanti Anda di depan.

(Dimuat dalam Harian Kontan, tanggal 27 April 2018)

Wednesday, February 28, 2018

KPPU Determines that Aqua Danone and its Distributor Breached the Competition Law


https://www.google.com/url?sa=i&source=imgres&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwixzdf8kpbbAhUNSI8KHa0-COEQjhx6BAgBEAM&url=https%3A%2F%2Findustri.kontan.co.id%2Fnews%2Fdanone-indonesia-serahkan-penyelesaian-kasus-mikroplastik-di-aqua-ke-asosiasi&psig=AOvVaw1ZBcT2iYm5XQiPAcMxiW3z&ust=1526969546646366  


Overview
On 19 December 2017, Indonesia’s Commission for the Supervision of Business Competition (KPPU) concluded that PT Tirta Investama, a company producing “AQUA Danone” bottled water (Aqua) and PT Balina Agung Perkasa (BAP or Distributor) had breached the provisions of exclusionary conduct under Law No.5 of 1999 on Prohibition of Monopolistic and Unfair Business Competition Practices (Competition Law).
After a series of investigations and hearings that lasted more than a year, KPPU found that Aqua and BAP had violated Article 15(3) and Article 19(a) and (b) of the Competition Law.  KPPU imposed a fine of Rp13.8 billion and Rp6.3 billion respectively, on Aqua and BAP.
The latest KPPU decision sends a strong message that every business actor must comply with the prevailing laws and regulations, including the Competition Law.
Background
The initial case started with a summation (Somasi) made by Aqua’s competitor, Le Minerale (PT Tirta Fresindo Jaya).  The Somasi was published in several national newspapers, demanding that Aqua and its Distributor stop forcing outlets not to sell Le Minerale’s products.  KPPU kept an eye on this news by closely monitoring, and then initiating its own investigation in this case.
During its investigation, KPPU discovered evidence supporting its findings, including conduct in the form of threatening or downgrading the outlets, from a star outlet (SO) to becoming a wholesaler (WS), if they continued to sell Le Minerale’s products.  This downgrading from SO to WS resulted in the outlets paying 3% more when receiving Aqua’s products.  In order to avoid paying 3% more, the outlets (had to) follow Aqua and BAP’s instructions, which have caused a decrease in Le Minerale’s sales in specific areas. 
KPPU findings were also supported by emails from Aqua and BAP or agencies to the outlets, indicating that these instructions were effective in the field.  KPPU considered that the instructions were effective due to Aqua’s domination in the bottled water market shares in Indonesia.
Based on the market share report from Goldman Sachs, in 2015, Aqua occupied more than 46.7% of the bottled water market share in Indonesia, followed by Club 4% (Indofood), 2Tang 2.8% (PT Tang Mas), Oasis 1.8% (PT Santa Rosa Indonesia), Super O2 1.7% (Garuda Food), and Prima 1.4% (PT Sosro).[1]
BAP is Aqua’s exclusive distributor for 12 specified areas, including Cikampek, Cikarang, Bekasi, Babelan, Pulo Gadung, Sunter, Prumpung, Kiwi, Lemah Abang, Cibubur, and Cimanggis.
Exclusionary conduct
In its decision, KPPU considered that Aqua and BAP breached the provisions on exclusionary conduct (e.g. Articles 15(3) and 19(a) and (b)).
Article 15(3) of the Competition Law, stipulates that:
Business actors shall be prohibited from entering into agreements concerning prices or certain price discounts for goods and or services, setting forth the condition that the business actor receiving goods and or services from the supplying business actor:
a.      must be willing to buy other goods and or services from the supplying business actor; or
b.      will not buy the same or similar goods and or services from other business actors that are competitors of the supplying business actor.”
Article 19(a), (b) of the Competition Law, stipulates that:
Business actors shall be prohibited from engaging in one or several activities, either individually or jointly with other business actors, which may cause monopolistic or unfair business competition practices, such as:
a.      refusing to allow and or impeding certain other business actors in conducting the same business activity in the relevant market; or
b.      impeding consumers or customers of their competitors in engaging in a business relationship with such business competitors.
KPPU found that the “exclusionary practices” conducted by Aqua and BAP have satisfied the elements of Articles 15(3) and 19(a) of the Competition Law, which generally prohibits  exclusionary conduct, if it prevents actual or potential com­petitors from supplying the same products or prevents consumers from obtaining similar products that are competitive in price or quality.
This case serves as a reminder of past KPPU cases on exclusionary conduct, as follows:
Arta Boga Cemerlang (ABC, 2004)
In the ABC case, KPPU determined that ABC had breached Article 25 of the Competition Law by engaging in exclusionary practices towards its competitors and entering into agreements with its wholesalers and grocers, which provided that:
  •   a 2 per cent discount would be given, if they agreed to sell ABC’s batteries; and 
  • an additional 2 per cent discount would be given, if they agreed not to sell ABC’s competitors’ products.

Telkom (2005)
In the Telkom case, the Supreme Court determined that Telkom had breached Article 15(3)(b) of the Competition Law by providing exclusive rebates to hotels and offices on the condition that these hotels and offices would not use international telecommunications services offered by Indosat, a competitor.  With its dominance in the public switched telephone network market, Telkom thereby also abused its dominant position, in contravention of Article 25 of the Competition Law.
Appeal
After KPPU issues its decision, the relevant business actors concerned (in this case, Aqua and BAP) would be obliged to abide by the decision and report to KPPU within 30 days after receiving formal notification of the KPPU decision.[2]  However, the business actors may decide to appeal the decision to the District Court, in which case they must file the appeal no later than 14 days after being notified of the decision.[3] The District Court is then obliged to examine the appeal within 14 days of the filing of the appeal,[4] and must make a decision within 30 days from the date of commencement of the appeal hearing.[5]

Conclusion

KPPU’s decision went against Aqua and BAP, stating that they were proven to have breached the provisions on exclusionary conduct in the distribution and selling of Aqua Danone bottled water.  We note that on 31 January 2018, the appeal has filed by Aqua and we will see that the District Court will review the KPPU findings and determination whether it had correctly applied the provisions on Competition Law.


[2] Article 44(1) of the Competition Law
[3] Article 44(2) of the Competition Law
[4]  Article 45(1) of the Competition Law
[5]  Article 45(2) of the Competition Law