Dear Bloggerian,
Beberapa hari dalam seminggu ini perhatian kita di indonesia terfokus pada penantian keluarnya putusan MA (Mahkamah Agung) tentang Permohonan Kasasi Akbar Tanjung. Selain berita kesibukan tentang maraknya pencalonan para Caleg para peserta Pemilu 2004 serta mewabahnya Flu Burung yang sedang melanda Indonesia, penantian akan keluarnya Putusan MA tersebut rasanya layak untuk ditunggu. Karena kembali, MA sebagai the last bastion of justice, akan diuji apakah hukum di indonesia ini masih memihak kepada kebenaran ataukah tidak.
Judul di atas terinspirasi dari antologi puisi Tiga Menguak Takdir karya Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin, yang kebetulan, majelis yang memeriksa Permohonan Kasasi Akbar ini berjumlah 5 orang. Lima orang Hakim Agung yang memeriksa merupakan hakim agung yang proses pemilihannya dilakukan dengan fit and profer test yang notabene dilakukan oleh DPR. Akankah terjadi conflict of interest para Hakim Agung yang memeriksa akbar, Atau adakah deal politk tertentu yang nantinya akan mempengaruhi keputusan mereka?
Akbar Tanjung adalah Ketua Umum Partai Golkar yang juga Ketua DPR itu telah divonis bersalah melakukan korupsi penyalahgunaan dana non-budgeter Bulog oleh Pengadilan Jakarta Pusat. Putusan PN Jakarta Pusat tersebut kemudian dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Akbar memang masih mempunyai hak untuk melakukan upaya hukum, yaitu mengajukan Kasasi ke MA. Ketika para hakim agung tersebut memutuskan Akbar, sesungguhnya mereka tidak hanya mempertaruhkan kredibilitas mereka sebagai hakim agung yang sedang diuji, tetapi juga turut menentukan apakah reformasi di bidang hukum yang digaungkan tahun 1998 silam telah berbuah.
Negeri ini sesungguhnya membutuhkan penegakan hukum yang sifatnya radikal. Di negeri terkorup 5 besar se-dunia ini nyatanya masih sedikit koruptor yang di kirim ke hotel prodeo (penjara-red). Persetan dengan tuduhan melanggar HAM, karena korupsi sendiri sebenarnya merupakan pelanggaran HAM yang sangat berat. Bahkan bisa dikatakan sebagai the ultimate crime against humanity. Karena pada dasarnya ketika seseorang (apalagi pejabat negara) melakukan korupsi, sesungguhnya pada saat yang bersamaan ia telah mengkhianati kepercayaan atau kontrak sosial yang telah dibuat dirinya dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Sekarang kita tinggal menunggu dan berharap semoga MA memutus selain dengan pertimbangan hukum yang argumentatif juga dengan mempertimbangkan hati nurani dan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat serta berpihak kepada keadilan. Karena jika sampai hal itu tidak terjadi, maka alih-alih upaya perbaikan hukum yang ada, yang terjadi adalah semakin busuknya hukum di indonesia. Dan, semakin sempurnalah kekalahan republik ini, kita dijerat utang yang semakin banyak, pengangguran merajalela, korupsi membudaya, dan jika saat itu telah tiba, relakan saja para bajingan dan bangsat yang memimpin bangsa ini.
Semoga Hal itu tidak akan pernah terjadi. Amien.